Ayat Pilihan

Kamis, 17 Juni 2010

Bagaimanan Islam menggerakkan ekonomi?

Pada tahun 80-an sampai 90-an, saya belajar tentang modal dasar pembangunan dimana Bangsa Indonesia merupakan salah satu bangsa yang memiliki potensi luar biasa. Luar biasa dari sisi sumber daya manusia (SDM), sumber daya alam (SDA)maupun dari berbagai sisi yang lain seperti letak geografis.
Potensi yang demikian hebat, ternyata belum dapat kita manfaatkan dengan maksimal untuk kesejahteraan bangsa ini sebagaimana digariskan dalam UUD 1945. Hal ini tentu saja menimbulkan pertanyaan buat saya; apa yang salah dengan negeri ini? Kita punya mineral (minyak dan gas, batubara, timah dsb), hutan, laut dengan ikannya yang melimpah, penduduk yang banyak dengan kemampuan yg hebat. Mengapa kita belum bisa menjadi bangsa/negara yang mandiri?
Secara pribadi saya (semoga tidak benar) melihat fenomena bahwa kita belum memiliki pendirian yang teguh dan cenderung kurang percaya diri. Kita cenderung mencontoh/membeli/memakai barang/perilaku yang berasal dari orang lain bahkan tidak peduli/mengabaikan nilai-nilai yang telah mengakar kuat dalam kehidupan bangsa kita. Katakanlah, bangsa Indonesia yang mayoritas muslim, namun Muslimin Indonesia belum dapat melaksanakan ajaran agamanya dengan baik. Misalnya, Islam mengajarkan umatnya untuk menghargai waktu dan disiplin sebagaimana telah dilatih dengan sholat lima waktu mestinya kita dapat menjadi bangsa yang tertib dan disiplin. Ironisnya kita sering, menemui atau melakukan sendiri, tidak tepat waktu. Padahal umat Islam diajarkan untuk segera menyelesaikan satu pekerjaan dan segera beralih mengerjakan tugas berikutnya.
Kita juga bisa mempelajari kembali tentang kenapa ada zakat dalam rukun Islam. Perlu kiranya kita kaji kembali zakat(bukan sekedar hafal rukun Islam). Ada beberapa hal yang dapat kita ambil pelajaran dari perintah zakat:
1. Allah menghendaki umat Islam menjadi umat yang sejahtera (cukup secara ekonomi). Allah memerintahkan zakat berarti umat Islam harus memiliki harta minimal sebesar nishab.
2. Allah menghendaki umat Islam untuk senantiasa menggerakkan perekonomian.
APabila kita cermati, pengenaan zakat dapat menjadi stimulus fiskal (pinjam istilah APBN). Mengapa demikian? Kita dapat membandingkan zakat antar berbagai obyek untuk membuktikannya. Jika kita menyimpan emas maka zakatnya dikenakan terhadap total nilai emas tersebut. Namun bila emas tersebut dijadikan modal untuk usaha maka zakat hanya dikenakan terhadap keuntungan yang dihasilkan. Sehingga aset yang hanya kita simpan akan semakin berkurang karena dikenakan zakat, misalnya emas 100gr dikenakan zakat 2,5% maka akan tersisa 97,5gr. Jika emas 100gr tersebut kita jual (misal Rp300.000,-/gr)akan kita dapatkan modal sebesar Rp30 juta. Apabila dalam setahun usaha kita memperoleh laba 10% atau Rp3 juta maka zakat dikenakan terhadap keuntungannya saja. sekarang kita bandingkan : emas disimpan akan terkena zakat 2,5 x Rp300.000 = 750.000 atau harta berkurang sebesar 750.000. sedangkan opsi kedua : nilai harta tetap setara 100 gr, keuntungan masih 97,5% x 3.000.000 = 2.925.000, total harta meningkat

3. Islam menghendaki agar harta kekayaan tidak hanya dikuasai oleh segelintir orang saja. Islam tidak menghendaki adanya monopoli kekayaan oleh segelintir orang, karena itu untuk mengurangi kesenjangan orang kaya harus menyerahkan sebagian hartanya kepada orang "miskin" agar si miskin dapat meningkat daya belinya. Jika daya beli meningkat maka akan mendorong ekonomi, apalagi jika si miskin kemudian juga mampu membuat usaha maka ekonomi semakin bergairah. Berbeda dengan pola kapitalis dimana si kaya akan semakin kaya sedangkan si miskin semakin miskin karena hanya memperoleh hutang dari si kaya dengan beban tambahan (baca : bunga).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar